OPINI: Hak Asasi Manusia : Kalimat yang Tak Berujung -->
Cari Berita

OPINI: Hak Asasi Manusia : Kalimat yang Tak Berujung

Admin Suara Jelata
Jumat, 10 Desember 2021

OPINI, Suara Jelata--- Hampir semua di belahan dunia mengakui apa itu Hak Asasi Manusia (HAM) dan penerapannya sebagai bagian hakiki dari konstitus mereka. 

Terlebih semenjak adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Dan tak dapat dipungkiri, belakangan HAM menjadi indikator utama peradaban sebuah negara. 

Begitupun yang diberikan kepada negara kita negara Indonesia yang termuat pada pembukaan UUD 1945, secara ekspilisitnya terdapat pada pada 28. 

Walaupun melalui fase tahun yang cukup berkepanjangan niat guna meperkuat penguatan dan perlindungan hak asasi manusia dengan membuat aturan khusus, ini terealisasikan pada saat transisinya orde baru ke reformasi dengan terbentuk nya UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yaitu melakukan pengkajiandan penelitian pendidikan penyuluhan, pemantauan penyelidikan serta mediasi dan UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. 

Tetapi dari lintas-rezim yang memerintah di masa itu sampai sekarang untuk menguatkan aturan khusus tentang HAM. Ya, memang seringkali sesuatu yang bernilai dan fundamental justru yang terabaikan.

Tentu gambaran besar terlahirnya hak asasi manusia tidak begitu saja terealisasikan tanpa gagasan dan pemikiran para negarawan maupun filsuf untuk memperkuat kaki pondasi terhadap HAM itu sendiri.

Hak Asasi Manusia
Secara umum, pandangan seseorang terhadap HAM itu sendiri dipahami sebagai hak alamiah manusia yang sejatinya dimiliki semenjak ia lahir. 

Dikemukakan oleh pemikir dari Inggris, yakni Jhon Locke, bahwa adanya hak alamiah (natural rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan dan hak milik. 

Hal yang dikemukakan oleh Jhon Locke mempunyai andil besar terhadap sumbangsih untuk memberikan kesadaran kepada manusia tentang adanya HAM.

HAM itu sendiri banyak yang mengemukanan bahwa hak yang dimiliki manusia, karena ia sebagai manusia dan bukan diberikan oleh masyarakat atau negara. 

Manusia memilikanya karena ia manusia, maka dari itu hak asasi itu tidak dapat dilenyapkan atau dinyatakan tidak diberlakukan oleh sebuah negara.

Begitupun yang tertera pada pada pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

Hal ini kita bisa ketahui bahwa Hak Asasi Manusia terbentuk dari hak alamiah dan hak yang dianugerahkan tuhan kepada manusia yang sifatnya hakiki dan tidak boleh diganggu gugat lagi.

Tetapi selama ini, pengertian dari HAM itu sendiri mengalami keganjalan yang mengakibatkan kontradiktif dengan adanya pemikir dari negara lain yang mengemukan HAM itu sendiri. 

Hannah Arendt, teoretikus politik sekaligus filsuf asal Jerman yang memiliki aliran filsafat kontinental memberikan istilah itu sebagi hak pasca politis bukan hak pra politis (hak yang dimiliki bahkan sebelum terjadinya negara). 

Mungkin dari hasil para pemikir tentang HAM yang di mana HAM sebagai hak alamiah yang dimilki manusia sejak lahir masih dapat untuk diperdebatlkan. Akan tetapi, HAM bukan hak yang sifatnya pra politis namun cenderung pasca politis. 

Dari pandangan saya melihat HAM itu sendiri, HAM ada ketika para manusia memasuki lingkaran sosial yakni sebuah negara.

Ketika kita tidak menjadi bagian negara, maka pengakuan dan perlindungan HAM pada kita tidak ada pada faktanya. Lebih jauh lagi, bahwa kriteria terhadap HAM pun didikte oleh negara. 

Ini sebabnya tafsir terhadap HAM di tiap negara berbeda. Sederhananya, HAM itu ada ketika negara juga ada. Negaralah yang mengakui dan melindungi HAM. Singkatnya, negara adalah wadah pelaksanaan HAM. 

Tetapi keadaan terbalik yang di mana HAM sebagai instrumen hak yang diakui dan kriterianya ditentukan oleh negara justru sering kali yang menjadi “pelaku” pelanggaran masif terhadap HAM yang dilakukan oleh negara sendiri.

Human Rihgts Paradox, istilah dari Abdullahi Ahmed An Na’im, seorang cendekiawan Islam  pemikir Islam dan Hak Asasi Manusia dari Sudan yang mengatakan, pada satu sisi ide, gagasan dan HAM begitu kuat (powerful) pada negara melalui pemerintahannya, tetapi pada sisi lain pelanggaran HAM terus berlangsung secara sistematis yang dilakukan oleh aparat negara dan hampir tanpa enforcement.

Yang menarik, perhatian saya sampai sekarang, sering kali bentuk pelanggaran HAM tersebut dilakukan atas nama mempertahankan kepentingan (penguasa), keutuhan, dan stabilitas negara. 

Tetapi untuk konteks keindonesiaan, sebagai masyarakat indonesia kita harus mengetahui bersama sejarah sudah merekam dengan baik setiap kasus dan tragedi yang berkaitan dengan HAM, mulai dari Genosida 65, Tragedi Tanjung Priok, Penembakan Mahasiswa Trisakti tahun 1998 dan Tragedi Semanggi. 

Dan tak heran pula, kita sering melihat bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara melalui alat negaranya atau memanfaatkan kelompok tertententu, bisa-bisanya ia menganggap hal itu bukanlah dosa atau kejahatan mengdiskriminasi, malah ia menganggap itu sebuah prestasi.

Berbicara dan melihat persoalan HAM, tetaplah akan menjadi sebuah polemik perdebatan sepanjang manusia itu ada dan saya menganggap HAM itu menyerupai bentuk lingkaran yang tidak memiliki ujung.  

Setiap negara akan macam bentuk pelanggaran HAM, yang membedakan adalah seberapa berat dan ringannya sebuah pelanggaran.

Selamat Hari Hak Asasi Manusia 10 Desember.

Penulis: Andi Badruthammam Ar-Rasyid, Mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar


Tulisan tersebut di atas merupakan tanggungjawab penuh penulis